A. Gadai
1. Pengertian
Gadai
Secara
umum pengertian gadai adalah kegiatan menjaminkan ‘barang-barang berharga’ kepada
pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang, dimana barang yang dijaminkan
akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga
gadai.[1]
Menurut
Y. Sri Susilo, Sigit dan Totok, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh
seorang yang memiliki piutang atas suatu barang bergerak.[2]
Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang
yang memiliki hutang atau oleh orang lain atas nama orang yang memiliki hutang.
Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaanya kepada orang yang
berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk
melunasi hutangnya apabila pihak yang berhutang tidak dapat melunasi
kewajibannya pada saat pinjamannya jatuh tempo.
Menurut
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan:
“Gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepada oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuatan kepada orang yang berpiutang itu untuk
mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang
yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang
itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[3]
Sedangkan
pengertian umum Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia
yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan
berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum
gadai.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh
oleh orang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh
orang yang berutang sebagai jaminan utamanya dan barang tersebut dapat dijual
(dilelang) oleh yang berpiutang bila yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya
pada saat jatuh tempo.[4]
2. Unsur-Unsur
Gadai
Berdasarkan
pasal 1150 KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan beberapa unsur utama konsep
pegadaian, antara lain:[5]
a. Sebagai
lembaga pembiayaan;
b. Debitur
menyerahkan jaminan barang bergerak yang nilainya seimbang atau lebih besar
dari jumlah piutang. Barang bergerak tersebut harus diserahkan kepada dan
berada dalam kekeuasaan kreditur sampai pinjaman debitur itu dilunasi;
c. Ditentukan
hari jatuh tempo pinjaman sebagai waktu pelunasan. Bersamaan dengan pelunasan
hutang tersebut, pegadaian mengembalikan barang jaminan kepada peminjam
(debitur) bersama dengan dokumen bukti pelunasan hutang dan dokumen pengemblian
barang jaminan;
d. Dalam
hal pinjaman tidak dilunasi setelah jatuh tempo, barang jaminan dapat dilelang
untuk melunasi pinjaman; dan
e. Semua
biaya pemeliharaan barang jaminan dan biaya lelang dibebankan kepada peminjam
(debitur).
B. Gadai
syariah
1. Pengertian
Secara
etimologi, rahn berarti وَامُ لدَّوَا اَلشُّبُوْتُ (tetap dan lama), yakni tetap
atau
berarti مُ وْوَاللُّزُ
اَلْحَبْسُ (pengekangan
dan keharusan). Menurut
terminologi syara’, rahn berarti[6]:
مِنْهُ ؤُهُ اِسْتِفَا يُمْكِنُ بِحَقٍّ شَىْءٍ
حَبْسُ
Artinya:
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga
dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”
Perjanjian
gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu
perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti “tetap”,
“berlangsung”, dan “menahan”.[7]
Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut
pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya tanggungan utang itu
seluruh atau sebagian utang dapat diterima. (Basyir, 1983:50).
Rahn
dapat juga diartikan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai
ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat
mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dilain pihak rahn yaitu perjanjian penyerahan barang
atau harta anda sebagai jaminan berdasarkan hukum gadai berupa
emas/perhiasan/kendaraan atau barang bergerak lainnya.[8]
Menurut
Bank Indonesia (1999) rahn adalah
akad penyerahan barang atau harta (marhun)
dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau
seluruh hutang. [9]
Selanjutnya
Imam Taqiyyudin Abu Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Iktisar berpendapat bahwa
definisi rahn adalah: akad atau
perjanjian utang-piutang dengan harta sebagai kepercayaan atau penguat utang
dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat
ia menuntut haknya.
Lebih
lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan
jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijual-belikan, artinya semua
barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulakan bahwa rahn merupakan suatu akad piutang dengan menjadikan barang yang
mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang
yang bersangkutan boleh mengambil utang.[10]
2. Dasar
Hukum
Pada
dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh (jaiz). Seperti yang tercantum, baik dalam Al-Qur’an, Al Sunnah
maupun Ijma’.
a) Al-Quran
Dalil
kebolehan gadai, seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, ayat
283 yang berbunyi sebagai berikut:[11]
bÎ)ur óOçFZä.
4n?tã 9xÿy
öNs9ur (#rßÉfs?
$Y6Ï?%x.
Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B (
÷bÎ*sù z`ÏBr&
Nä3àÒ÷èt/
$VÒ÷èt/
Ïjxsãù=sù
Ï%©!$#
z`ÏJè?øt$#
¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# رَبَّهُ …….
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..”(al-Baqarah: 283)
Ayat
di atas adalah dalil bahwa gadai itu diperbolehkan dalam perjalanan atau tidak
dalam perjalanan. Penyebutan gadai dalam perjalanan hanyalah sebagai contoh
umum, karena dalam perjalanan biasanya tidak ada penulis atau saksi. Ayat
tersebut secara eksplisit menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh
yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal
sebagai jaminan (collateral) atau
obek pegadaian.
b)
Hadist
Aisyah berkata
bahwa Rasul bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَم إِشْتَرَى
مِنْ يَهُودِيٍّ
طَعَامًا إِلَي أَجَلٍ وَرِهَنَهُ
دِرْعَهُ (رواه البخاري)
Artinya:
Rasullulah
membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR. Bukhari no. 1926, kitab al-buyu, dan Muslim).
Dari
Abu Hurairah r.a. Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda: Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari
pemilik yang menggadaikannya. Ia mempeoleh manfaat dan menanggung resikonya.(HR
Aay’Syafii, al Daraqutni dan Ibnu Majah).
Dari
Abu Hurairah r.a. Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلّم الرَّهْنُ يُرْكَبُ
بِنَفَقَتِهِ إِذَا
كَانَ مَرهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بَنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلى الّذِي
يَركَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَتِهِ
Artinya:
Apabila ada
ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai)
karena ia telah mengeluarkan biaya (Menjaganya). Apabila ternak itu digadaikan,
air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia
telah mengeluarkan biaya (menjaganya). Kepada orang yang naik dan minum, ia
harus mengeluarkan biaya (perawatannya). (HR. Jamaah, kecuali Muslim dan
An Nasai, Bukhari no.2329, kitab ar-rahn).[12]
c)
Ijtihad
Berkaitan
dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan
mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama
berpendapat bahwa diisyaratkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian,
berargumentasi kepada perbutan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang
orang Yahudi tersebut di Madinah.[13]
Adapun
keadaan dalam perjalan seperti ditentukan dalam QS.Al-Baqarah 283, karena
melihat kebiasaan dimana pada umumnya rahn
dilakukan pada waktu bepergian (Sayyid Sabiq, 1987:141). Adh-Dhahak dan penganut
madzab az-Zahiri berpendapat bahwa rahn tidak
disyariatkan kecuali pada waktu bepergian, berdalil pada ayat tadi. Pernyataan
mereka telah terbantahkan dengan adanya hadis tersebut.
Di
samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Asilatuhu. 1985, V:181).
Landasan ini kemudian diperkuat dengan fatwa Dewan Syariah Nasional
No.25/DSN-MUI/II/2002 dan No.68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.
3. Syarat
Sah dan Rukun Gadai Syariah
Sebelum
dilakukan rahn, terlebih dahulu
diadakan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’ adalah ikatan secara hukum yang
dilakukan oleh dua belah pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk
mengingatkan diri. Kehendak pihak yang mengingatkan diri itu sifatnya
tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing
diungkapkan dalam suatu akad.[14]
Ulama
fiqh berbeda pendapat dalam meneteapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama,
rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu:[15]
a. Shighat (lafadz ijab dan qabul);
b. Orang
yang berakad (rahin dan murtahin);
c. Harta
yang dijadikan marhun; dan
d. Utang
(marhun bih).
Ulama
hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu
hanya ijab (pernyataan menyerahkan
barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul
(pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu).
Menurut Ulama Hanafiah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi
utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan
marhun bih itu termasuk syarat-syarat
rahn,bukan rukunnya.[16]
Sedangkan
syarat rahn, ulama fiqh
mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu:
a.
Syarat yang terkait dengan orang
yang berakad, adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama
hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang
baik dan buruk) boleh diadakan akad rahn,
dengan syarat mendapatkan persetujuan dengan walinya.
b.
Syarat sighat (lafadz)
Ulama
Hanafiah berpendapat bahwa sighat dalam
rahn tidak boleh memakai syarat atau
dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, sebab rahn jual-beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal
dan rahn tetap sah.
Adapun
menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang sahih dan yang rusak. Urainnya adalah sebagai
berikut.[17]
1)
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
syarat dalam rah ada tiga:
a)
Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehinga jaminan
tidak disita.
b)
Mensyaratkan sesuatu yang tidak
bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminanya diberi makanan
tertentu, syarat seperti ini batal, tetapi akdanya sah.
c)
Syarat yang merusak akad, seperti
mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
2)
Ulama Malikiah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi menjadi dua, yaitu rahn sahih dan rahn fasid. Rahn fasid
adalah rahn yang di dalamnya
mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada
suatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung
jawab rahin.
3)
Ulama Hanabilah berpendapat seperti
pendapat ulama Malikiyah di atas, yakni rahn
terbagi menjadi dua, sahih dan fasid. Rahn sahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan
dan sesuai dengan kebutuhan. Rahn fasid adalah
rahn yang tidak memenuhi persyaratan.
c.
Syarat Marhun (barang yang digadaikan)
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah: [18]
1. Dapat
diserah terimakan, baik materilnya maupun manfaatnya.
2. Bermanfaat
3. Milik
rahin (orang yang menggadaikan)
4. Jelas
5. Tidak
bersatu dengan harta lain
6. Dikuasai
atau dimiliki oleh rahin
7. Harta
yang tetap atau dapat dipindahkan.
d. Syarat
Marhun bih (utang)
Menurut
ulama hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai
adalah: [19]
1) Marhun bih hendaklah
barang yang wajib diserahkan
Menurut ulama selain
Hanafiah, marhn bih hendaklah berupa
utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa
uang ataupun berbentuk benda.
2) Marhun bih memungkinkan
dapat dibayarkan
Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi
maksud dan tujuan dari disyariatkannya rahn.
3) Hak
atas marhun bih harus jelas
Dengan demikian, tidak
boleh memberikan dua marhun bih tanpa
dijelaskan utang mana yang menjadi rahn.
Ulama
Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi marhun bih :
1) Berupa
utang tetap dan dapat dimanfaatkan;
2) Utang
harus lazim pada waktu akad;
3) Utang
harus jelas dan diketahui oleh rahin dan
murtahin.
4. Hak
dan Kewajiban
Secara
umum, hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian gadai adalah sebagai
berikut:[20]
Tabel 2.2 Hak dan Kewajiban
Penerima dan Pemberi Gadai
Penerima Gadai (Murtahin)
|
|
Hak
|
Kewajiban
|
1) Penerima
gadai (murtahin) mendapatkan biaya
administrasi yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda
gadai (marhun).
2) Murtahin
mempunyai hak menahan marhun sampai
semua utang (marhun bih) dilunasi.
3) Penerima
gadai berhak menjual marhun apabila
rahin pada saat jatuh tempo tidak
dapat memenuhi kewajiban. Hasil penjualan diambil sebagian untuk melunasi marhun bih dan sisanya dikembalikan
kepada rahin.
|
1) Murtahin bertanggung
jawab atas hilang atau merosotnya harga marhun
bila itu disebabkan oleh kelalaian.
2) Murtahin tidak
boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
3) Murtahin berkewajiban
memberi informasi kepada rahin sebelum
mengadakan pelelangan harta benda gadai.
|
Pemberi
Gadai (Rahin)
|
|
1) Pemberi
gadai (rahin) berhak mendapatkan
pembiayaan dan/ atau jasa penitipan.
2) Rahin berhak
menerima kembali harta benda yang digadaikan sesudah melunasi hutangnya.
3) Rahin berhak
menuntut ganti rugi atas kerusakan dan/ atau hilangnya harta benda yang
digadaikan.
4) Rahin berhak
menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi biaya
pinjaman dan biaya lainnya.
5) Rahin berhak
meminta kembali harta benda gadai jika diketahui adanya penyalahgunaan.
|
1) Rahin berkewajiban
melunasi marhun bih yang telah
diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain
yang disepakati.
2) Pemeliharaan
marhun pada dasarnya menjadi
kewajiban rahin. Namun jika
dilakukan oleh murtahin, maka biaya
pemeliharaan tetap menajadi kewajiban rahin.
Besar biaya pemeliharaan tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah
pinjaman.
3) Rahin berkewajiaban
merelakan penjualan marhun bila
dalam jangka waktu yang telah ditetapkan ternyata tidak mampu melunasi
pinjamannya.
|
5. Persamaan
dan Perbedaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional.
a. Persamaan
gadai dengan rahn[21]
1. Hak
gadai berlaku atas pinjaman uang.
2. Adanya
agunan sebagai jaminan utang.
3. Tidak
boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
4. Biaya
barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai.
5. Apabila
batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau
dilelang.[22]
b. Perbedaan
Gadai Syariah (Rahn) dan Gadai Konvensional[23]
1.
Rahn
dalam
hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari
keuntungan; sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong-menolong
juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang
ditetapkan.
2.
Dalam hukum perdata, hak gadai
hanya berlaku pada benda yang bergerak; sedangkan dalam huklum islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik
harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3.
Dalam Rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga uang.
4.
Gadai menurut hukum perdata,
dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian; Rahn menurut hukum Islam dapat
dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
Menurut Madzab Hanafi penerima Rahn boleh memanfaatkan barang yang
menjadi jaminan utang atas izin pemiliknya, karena pemilik barang itu boleh
mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk menggunakan hak
miliknya, termasuk untuk mengambil manfaat barangnya. Hal ini menurut mereka
bukan riba, karena pemanfaatan barang itu diperoleh melaui izin.[24]
[1]Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian
Kontemporer), (Jakarta: UI-Press, 2006),h.125.
[2] Susilo, Y. Sri, Sigit Triandaru,
dan A. totok Budi Santoso, Bank dan
Lembaga Keuangan Lain, cetakan pertama (Jakarta : Salemba
Empat,2000),h.212.
[3] Andri soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah,
(Jakarta:kencanan 2009)cet. Ke-1 h.394.
[4]
Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian
Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003).h.17
[5] Fathurrahman Djamil, Seminar Pegadaian Syariah: Eksistensi
Pegadaian Syariah di Indonesia dengan tema Pegadaian Syariah Dalam Perspektif Fiqh Muamalah Kontemporer, (UIN
Jakarta:aula student center, 2011), h.8.
[6] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka
Setia,2001),h.159.
[7] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003),h.50.
[8] Ahmad Rodoni, INVESTASI SYARIAH,(Jakarta:Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009),h.183.
[9] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah,
(Jakarta: Zikrul Hakim, 2007),h.28.
[10] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003). h.50
[11] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktik,
cetakan 1 (Jakarta: Gema Insani Press,2001),h.128
[12] Ahmad Romdoni, INVESTASI SYARIAH,(Jakarta:Lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009),h.186.
[13]Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep,
Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press,2006), h.91.
[14] Mustafa az-Zarqa’ dalam M. Ali
Hasan, Berbagai macam Transaksi dalam
Islam, cetakan pertama, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003),h.102-103
[15] Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian
Kontemporer), (Jakarta: UI-Press, 2006),h.42
[16] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cetakan pertama, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2000),h.254
[17] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka
Setia,2001),h.163
[18]Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep,
Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press,2006), h .92.
[19] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka
Setia,2001),h.163-164.
[20] Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah,(Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2010),h.173-174
[21] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003). h.42.
[23] Muhammad Sholahuddin, Lukman
Hakim, Lembag Ekonomi dan Keuangan Syariah Kontemporer, (Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2008).h.123.
[24] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2003). h.43.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar