assalamu'alaikum....

Minggu, 12 Agustus 2012

GADAI


A.    Gadai
1.      Pengertian Gadai
Secara umum pengertian gadai adalah kegiatan menjaminkan ‘barang-barang berharga’ kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang, dimana barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.[1]
Menurut Y. Sri Susilo, Sigit dan Totok, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh seorang yang memiliki piutang atas suatu barang bergerak.[2] Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang memiliki hutang atau oleh orang lain atas nama orang yang memiliki hutang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaanya kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi hutangnya apabila pihak yang berhutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat pinjamannya jatuh tempo.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepada oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuatan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[3]

Sedangkan pengertian umum Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh orang yang berutang sebagai jaminan utamanya dan barang tersebut dapat dijual (dilelang) oleh yang berpiutang bila yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.[4]
2.      Unsur-Unsur Gadai
Berdasarkan pasal 1150 KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan beberapa unsur utama konsep pegadaian, antara lain:[5]
a.       Sebagai lembaga pembiayaan;
b.      Debitur menyerahkan jaminan barang bergerak yang nilainya seimbang atau lebih besar dari jumlah piutang. Barang bergerak tersebut harus diserahkan kepada dan berada dalam kekeuasaan kreditur sampai pinjaman debitur itu dilunasi;
c.       Ditentukan hari jatuh tempo pinjaman sebagai waktu pelunasan. Bersamaan dengan pelunasan hutang tersebut, pegadaian mengembalikan barang jaminan kepada peminjam (debitur) bersama dengan dokumen bukti pelunasan hutang dan dokumen pengemblian barang jaminan;
d.      Dalam hal pinjaman tidak dilunasi setelah jatuh tempo, barang jaminan dapat dilelang untuk melunasi pinjaman; dan
e.       Semua biaya pemeliharaan barang jaminan dan biaya lelang dibebankan kepada peminjam (debitur).
B.     Gadai syariah
1.      Pengertian
Secara etimologi, rahn berarti وَامُ لدَّوَا اَلشُّبُوْتُ (tetap dan lama), yakni tetap atau berarti  مُ وْوَاللُّزُ اَلْحَبْسُ (pengekangan dan keharusan). Menurut terminologi syara’, rahn berarti[6]:
مِنْهُ ؤُهُ اِسْتِفَا يُمْكِنُ بِحَقٍّ شَىْءٍ حَبْسُ
Artinya:
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”

Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti “tetap”, “berlangsung”, dan “menahan”.[7] Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima. (Basyir, 1983:50).
Rahn dapat juga diartikan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dilain pihak rahn yaitu perjanjian penyerahan barang atau harta anda sebagai jaminan berdasarkan hukum gadai berupa emas/perhiasan/kendaraan atau barang bergerak lainnya.[8]
Menurut Bank Indonesia (1999) rahn adalah akad penyerahan barang atau harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang. [9]
Selanjutnya Imam Taqiyyudin Abu Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Iktisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: akad atau perjanjian utang-piutang dengan harta sebagai kepercayaan atau penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.
Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulakan bahwa rahn merupakan suatu akad piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[10]
2.      Dasar Hukum
Pada dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh (jaiz). Seperti yang tercantum, baik dalam Al-Qur’an, Al Sunnah maupun Ijma’.
a)      Al-Quran
Dalil kebolehan gadai, seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut:[11]
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr&
Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# رَبَّهُ …….
  Artinya:
 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..”(al-Baqarah: 283)

Ayat di atas adalah dalil bahwa gadai itu diperbolehkan dalam perjalanan atau tidak dalam perjalanan. Penyebutan gadai dalam perjalanan hanyalah sebagai contoh umum, karena dalam perjalanan biasanya tidak ada penulis atau saksi. Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan (collateral) atau obek pegadaian.
b)     Hadist
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَم إِشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ
 طَعَامًا إِلَي أَجَلٍ وَرِهَنَهُ دِرْعَهُ (رواه البخاري)
Artinya:
Rasullulah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR. Bukhari no. 1926, kitab al-buyu, dan Muslim).

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda: Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia mempeoleh manfaat dan menanggung resikonya.(HR Aay’Syafii, al Daraqutni dan Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلّم الرَّهْنُ يُرْكَبُ
 بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بَنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلى الّذِي يَركَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَتِهِ

Artinya:
Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (Menjaganya). Apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaganya). Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengeluarkan biaya (perawatannya). (HR. Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai, Bukhari no.2329, kitab ar-rahn).[12]

c)      Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa diisyaratkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian, berargumentasi kepada perbutan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang Yahudi tersebut di Madinah.[13]
Adapun keadaan dalam perjalan seperti ditentukan dalam QS.Al-Baqarah 283, karena melihat kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian (Sayyid Sabiq, 1987:141). Adh-Dhahak dan penganut madzab az-Zahiri berpendapat bahwa rahn tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian, berdalil pada ayat tadi. Pernyataan mereka telah terbantahkan dengan adanya hadis tersebut.
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Asilatuhu. 1985, V:181). Landasan ini kemudian diperkuat dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/II/2002 dan No.68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.
3.      Syarat Sah dan Rukun Gadai Syariah
Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu diadakan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’ adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengingatkan diri. Kehendak pihak yang mengingatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad.[14]
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam meneteapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu:[15]
a.       Shighat (lafadz ijab dan qabul);
b.      Orang yang berakad (rahin dan murtahin);
c.       Harta yang dijadikan marhun; dan
d.      Utang (marhun bih).
Ulama hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn,bukan rukunnya.[16]
Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu:
a.      Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik dan buruk) boleh diadakan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dengan walinya.
b.      Syarat sighat (lafadz)
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, sebab rahn jual-beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang sahih dan yang rusak. Urainnya adalah sebagai berikut.[17]
1)        Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rah ada tiga:
a)        Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehinga jaminan tidak disita.
b)        Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminanya diberi makanan tertentu, syarat seperti ini batal, tetapi akdanya sah.
c)        Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
2)        Ulama Malikiah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi menjadi dua, yaitu rahn sahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang di dalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada suatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung jawab rahin.
3)        Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama Malikiyah di atas, yakni rahn terbagi menjadi dua, sahih dan fasid. Rahn sahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan. Rahn fasid adalah rahn yang tidak memenuhi persyaratan.




c.       Syarat Marhun (barang yang digadaikan)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah: [18]
1.      Dapat diserah terimakan, baik materilnya maupun manfaatnya.
2.      Bermanfaat
3.      Milik rahin (orang yang menggadaikan)
4.      Jelas
5.      Tidak bersatu dengan harta lain
6.      Dikuasai atau dimiliki oleh rahin
7.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
d.      Syarat Marhun bih (utang)
Menurut ulama hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah: [19]
1)      Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
Menurut ulama selain Hanafiah, marhn bih hendaklah berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun berbentuk benda.
2)      Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkannya rahn.
3)      Hak atas marhun bih harus jelas
Dengan demikian, tidak boleh memberikan dua marhun bih tanpa dijelaskan utang mana yang menjadi rahn.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi marhun bih :
1)      Berupa utang tetap dan dapat dimanfaatkan;
2)      Utang harus lazim pada waktu akad;
3)      Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
4.      Hak dan Kewajiban
Secara umum, hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian gadai adalah sebagai berikut:[20]
Tabel 2.2 Hak dan Kewajiban Penerima dan Pemberi Gadai
Penerima Gadai (Murtahin)
Hak
Kewajiban
1)      Penerima gadai (murtahin) mendapatkan biaya administrasi yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun).
2)      Murtahin mempunyai hak menahan marhun sampai semua utang (marhun bih) dilunasi.
3)      Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajiban. Hasil penjualan diambil sebagian untuk melunasi marhun bih dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
1)      Murtahin bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harga marhun bila itu disebabkan oleh kelalaian.
2)      Murtahin tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
3)      Murtahin berkewajiban memberi informasi kepada rahin sebelum mengadakan pelelangan harta benda gadai.
Pemberi Gadai (Rahin)
1)      Pemberi gadai (rahin) berhak mendapatkan pembiayaan dan/ atau jasa penitipan.
2)      Rahin berhak menerima kembali harta benda yang digadaikan sesudah melunasi hutangnya.
3)      Rahin berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan dan/ atau hilangnya harta benda yang digadaikan.
4)      Rahin berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.
5)      Rahin berhak meminta kembali harta benda gadai jika diketahui adanya penyalahgunaan.
1)      Rahin berkewajiban melunasi marhun bih yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang disepakati.
2)      Pemeliharaan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin. Namun jika dilakukan oleh murtahin, maka biaya pemeliharaan tetap menajadi kewajiban rahin. Besar biaya pemeliharaan tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
3)      Rahin berkewajiaban merelakan penjualan marhun bila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan ternyata tidak mampu melunasi pinjamannya.



5.      Persamaan dan Perbedaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional.
a.       Persamaan gadai dengan rahn[21]
1.      Hak gadai berlaku atas pinjaman uang.
2.      Adanya agunan sebagai jaminan utang.
3.      Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
4.      Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai.
5.      Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.[22]
b.      Perbedaan Gadai Syariah (Rahn) dan Gadai Konvensional[23]
1.      Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keuntungan; sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
2.      Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak; sedangkan dalam huklum islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3.      Dalam Rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga uang.
4.      Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian; Rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
Menurut Madzab Hanafi penerima Rahn boleh memanfaatkan barang yang menjadi jaminan utang atas izin pemiliknya, karena pemilik barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk menggunakan hak miliknya, termasuk untuk mengambil manfaat barangnya. Hal ini menurut mereka bukan riba, karena pemanfaatan barang itu diperoleh melaui izin.[24]


[1]Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), (Jakarta: UI-Press, 2006),h.125.

[2] Susilo, Y. Sri, Sigit Triandaru, dan A. totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, cetakan pertama (Jakarta : Salemba Empat,2000),h.212.

[3] Andri soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:kencanan 2009)cet. Ke-1 h.394.

[4]  Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003).h.17

[5] Fathurrahman Djamil, Seminar Pegadaian Syariah: Eksistensi Pegadaian Syariah di Indonesia dengan tema Pegadaian Syariah Dalam Perspektif Fiqh Muamalah Kontemporer, (UIN Jakarta:aula student center, 2011), h.8.

[6] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka Setia,2001),h.159.

[7] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),h.50.

[8] Ahmad Rodoni, INVESTASI SYARIAH,(Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009),h.183.

[9] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007),h.28.

[10] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003). h.50

[11] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktik, cetakan 1 (Jakarta: Gema Insani Press,2001),h.128
[12] Ahmad Romdoni, INVESTASI SYARIAH,(Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009),h.186.

[13]Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,2006), h.91.
[14] Mustafa az-Zarqa’ dalam M. Ali Hasan, Berbagai macam Transaksi dalam Islam, cetakan pertama, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003),h.102-103

[15] Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), (Jakarta: UI-Press, 2006),h.42

[16] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cetakan pertama, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000),h.254

[17] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka Setia,2001),h.163
[18]Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,2006), h .92.

[19] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka Setia,2001),h.163-164.
[20] Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),h.173-174
[21] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003). h.42.

[23] Muhammad Sholahuddin, Lukman Hakim, Lembag Ekonomi dan Keuangan Syariah Kontemporer, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2008).h.123.
[24] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003). h.43.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bintang