assalamu'alaikum....

Minggu, 12 Agustus 2012

Analisis Tingkat Kesehatan Perbankan Syariah

A. Pengertian Tingkat Kesehatan Bank

Tingkat Kesehatan Bank adalah hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu Bank atau UUS melalui:
1. Penilaian kuantitatif dan penilaian kualitatif terhadap faktor-faktor permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, sensitivitas terhadap risiko pasar; dan
2. Penilaian kualitatif terhadap faktor manajemen.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa bank yang sehat adalah bank yang dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik. Dengan kata lain, bank yang sehat adalah bank yang dapat menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi, dapat membantu kelancaran lalu lintas pembayaran serta dapat digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakannya, terutama kebijakan moneter.
Dengan menjalankan fungsi-fungsi tersebut diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat serta bermanfaat bagi perekonomian secara keseluruhan. Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, bank harus mempunyai modal yang cukup, menjaga kualitas asetnya dengan baik, dikelola dengan baik dan dioperasikan berdasarkan prinsip kehati-hatian, menghasilkan keuntungan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya, serta memelihara likuiditasnya sehingga dapat memenuhi kewajibannya setiap saat.

B. Tujuan

Kekuatan mengenai tingkat kesehatan bank dimaksudkan untuk dapat dipergunakan sebagai:
1. Tolak ukur bagi manajemen bank untuk menilai apakah pengelolaan bank telah dilakukan sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
2. Tolak ukur untuk menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank baik secara individual maupun industri perbankan secara keseluruhan.

C. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Syariah

Tingkat kesehatan bank pada dasarnya dinilai dengan pendekatan kualitatif dengan mengadakan penilaian atas factor-faktor: permodalan (capital), kualitas aset (asset quality), manajemen (management), rentabilitas (earning), likuiditas (liquidity) dan sensitivitas terhadap risiko pasar (sensitivity to market risk) atau bisa disebut dengan metode CAMELS. Setiap factor yang dinilai terdiri dari beberapa komponen, dimana masing-masing factor beserta komponennya diberikan bobot yang besarnya disesuaikan dengan pengaruh terhadap kesehatan bank.
Penilaian factor dan komponen dilakukan dengan system kredit (reward system) yang dinyatakan dalam nilai kredit sebesar 0 hingga 100. Hasil penilaian atas dasar bobot dan nilai kredit dari berbagai factor yang dinilai (CAMELS) dapat dikurangi dengan nilai kredit atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang sanksinya dikaitkan dengan penilaian tingkat kesehatan bank. Meskipun secara umum faktor CAMEL relevan dipergunakan untuk semua bank, tetapi bobot masing-masing faktor akan berbeda untuk masing-masing jenis bank. Dengan dasar ini, maka penggunaan factor CAMEL dalam penilaian tingkat kesehatan dibedakan antara bank umum dan BPR. Bobot masing-masing faktor CAMEL untuk bank umum dan BPR ditetapkan sebagai berikut :
Tabel Bobot CAMEL
No. Faktor CAMEL Bobot
Bank Umum BPR
1.
2.
3.
4.
5. Permodalan
Kualitas Aktiva Produktif
Kualitas Manajemen
Rentabilitas
Likuiditas 25%
30%
25%
10%
10% 30%
30%
20%
10%
10%

Adapun penilaian untuk menentukan tingkat kesehatan bank dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan nilai factor permodalan, kualitas aktiva produktif (Asset), Manajemen, Rentabilitas (Earning Power), dan likuiditas. Nlai untuk masing-masing factor dihitung dengan nilai kredit yang berkisar dari 0 sampai 100 , denagn bobt yang berbeda untuk masing-masing factor berikut :
JENIS NILAAI KREDIT (NK) BOBOT NK DG BOBOT
1. Modal (0-100) 25% (0-25)
2. K.A.P (0-100) 30% (0-30)
3. Manajemen (0-100) 25% (0-25)
4. Rentabilitas (0-100) 10% (0-10)
5. Likuiditas (0-100) 10% (0-10)
Nilai kredit factor CAMEL (0-100)
Sesudah menghitung nilai kredit dari masing-masing factor sesuai dengan bobotnya , maka semua nilai kredit akan dijumlahkan untuk memperoleh nilai kredit terhadap lima factor yang dikualifikasikan tersebut, akan tetapi ini belum menjadi penilaian akhir. Karena masih ada factor-faktor yang menjadi penambah nilai kredit jika dipenuhi atau menjadi pengurang nilai kredit jika terjadi pelanggaran. Adapun factor-faktor tersebut adalah :
FACTOR-FAKTOR DILARANG DIPENUHI
Kredit Usaha Kecil (KUK) mengurangi menambah
Kredit Ekspor (KE) mengurangi menambah
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) mengurangi
Posisi Devisa Netto (PDN) mengurangi

Setelah dilakukan penambahan atau penguranagan nilai kredit, maka dapat ditentukan hasil penilaian yang digolongkan menjadi 4 kriteria tingkat kesehatan bank:

NILAI KREDIT PREDIKAT
81 - 100 Sehat
66 - < 81 Cukup sehat
51 - < 66 Kurang sehat
0 - < 51 Tidak sehat

Predikat tingkat kesehatan bank yang sehat atau cukup sehat atau kurang sehat akan diturunkan menjadi tidak sehat apabila terdapat :
• Perselisihan interen yang diperkirakan akan menimbulkan kesulitan dalam bank yang bersangkutan;
• Campur tangan pihak-pihak di luar bank dalam kepengurusan (manajemen) bank, termasuk didalamnya kerjasama yang tidak wajar yang mengakibatkan salah satu atau beberapa kantornya berdiri sendiri;“window dressing” dalam pembukuan .
• Praktek “bank dalam bank” atau melakukan usaha bank di luar pembukuan bank;
• Kesulitan keuangan yang mengakibatkan penghentian sementara atau pengunduran diri dari keikutsertaanya dalam kriling.

D. Penjelasan Metode CAMEL

1) Capital
Kekurangan modal merupakan gejala umum yang dialami bank-bank di negara-negara berkembang. Kekurangan modal tersebut dapat bersumber dari dua hal, yang pertama adalah karena modal yang jumlahnya kecil, yang kedua adalah kualitas modalnya yang buruk. Dengan demikian, pengawas bank harus yakin bahwa bank harus mempunyai modal yang cukup, baik jumlah maupun kualitasnya. Selain itu, para pemegang saham maupun pengurus bank harus benar-benar bertanggung jawab atas modal yang sudah ditanamkan.
Pengertian kecukupan modal tersebut tidak hanya dihitung dari jumlah nominalnya, tetapi juga dari rasio kecukupan modal, atau yang sering disebut sebagai Capital Adequacy Ratio (CAR). Rasio tersebut merupakan perbandingan antara jumlah modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR). Pada saat ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku, CAR suatu bank sekurang-kurangnya sebesar 8%.
CAR = x 100%

2) Assets Quality
Dalam kondisi normal sebagian besar aktiva suatu bank terdiri dari kredit dan aktiva lain yang dapat menghasilkan atau menjadi sumber pendapatan bagi bank, sehingga jenis aktiva tersebut sering disebut sebagai aktiva produktif. Dengan kata lain, aktiva produktif adalah penanaman dana Bank baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan, piutang, surat berharga, penempatan, penyertaan modal, penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada transaksi rekening administratif. Di dalam menganalisis suatu bank pada umumnya perhatian difokuskan pada kecukupan modal bank karena masalah solvensi memang penting.
Penilaian terhadap kualitas aktiva produktif di dalam ketentuan perbankan di Indonesia didasarkan pada dua rasio yaitu:
a) Rasio Aktiva Produktif Diklasifikasikan terhadap Aktiva
Produktif (KAP 1). Aktiva Produktif Diklasifikasikan menjadi Lancar, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.
Rumusnya adalah :
Penilaian rasio KAP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
 Untuk rasio sebesar 15,5 % atau lebih diberi nilai kredit 0 dan
 Untuk setiap penurunan 0,15% mulai dari 15,49% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
b) Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif terhadap Aktiva Produktif yang diklasifikasikan (KAP 2).
Rumusnya adalah :

Penilaian rasio KAP untuk perhitungan PPAP dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut untuk rasio 0 % diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 1 % dari 0 % nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
3) Management
Manajemen atau pengelolaan suatu bank akan menentukan sehat tidaknya suatu bank. Mengingat hal tersebut, maka pengelolaan suatu manajemen sebuah bank mendapatkan perhatian yang besar dalam penilaian tingkat kesehatan suatu bank diharapkan dapat menciptakan dan memelihara kesehatannya.
4) Earning
Salah satu parameter untuk mengukur tingkat kesehatan suatu bank adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Perlu diketahui bahwa apabila bank selalu mengalami kerugian dalam kegiatan operasinya maka tentu saja lama kelamaan kerugian tersebut akan memakan modalnya. Bank yang dalam kondisi demikian tentu saja tidak dapat dikatakan sehat. Penilaian didasarkan kepada rentabilitas atau earning suatu bank yaitu melihat kemampuan suatu bank dalam menciptakan laba. Penilaian dalam unsur ini didasarkan pada dua macam, yaitu :
a. Rasio Laba terhadap Total Assets (ROA / Earning 1). Rumusnya adalah:
Penilaian rasio earning 1 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio 0 % atau negatif diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap kenaikan 0,015% mulai dari 0% nilai kredit ditambah dengan nilai maksimum 100.
b. Rasio Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (Earning 2). Rumusnya adalah :

Penilaian earning 2 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan setiap penurunan sebesar 0,08% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
5) Liquidity
Penilaian terhadap faktor likuiditas dilakukan dengan menilai dua buah rasio, yaitu Rasio Kewajiban Bersih Antar Bank terhadap Modal Inti dan rasio Kredit terhadap Dana yang Diterima oleh Bank. Yang dimaksud Kewajiban Bersih Antar Bank adalah selisih antara kewajiban bank dengan tagihan kepada bank lain. Sementara itu yang termasuk Dana yang Diterima adalah Kredit Likuiditas Bank Indonesia, Giro, Deposito, dan Tabungan Masyarakat, Pinjaman bukan dari bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan (tidak termasuk pinjaman subordinasi), Deposito dan Pinjaman dari bank lain yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan, dan surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan.
Liquidity yaitu rasio untuk menilai likuiditas bank. Penilaian likuiditas bank didasarkan atas dua maca rasio, yaitu :
a). Rasio jumlah kewajiban bersih call money terhadap Aktiva Lancar.
Rumusnya adalah :
Penilaian likuiditas dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap penurunan sebesar 1% mulai dari nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100.
b). Rasio antara Kredit terhadap dana yang diterima oleh bank.
Rumusnya adalah :
Penilaian likuiditas 2 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio 115 atau lebih diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan 1% mulai dari rasio 115% nilai kredit ditambah 4 dengan nilai maksimum 100.
E. Perbandingan perbankan syariah & perbankan konvensional
Perbandingan sistem penilaian tingkat kesehatan bank: perbankan syariah dan perbankan konvensional. Seperti dalam sistem konvensional, pembuatan sistem penilaian digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengawasan. Sistem penilaian perbankan islam ini di implementasikan secara konprehensif . oleh karena itu, sistem penilaian perbankan islam mungkin dapat menjalankan lebih luas dalam pengukuran di bandingkan dengan perbankan konvensional. Sistem penilaian perbankan islam mengandung kepatuhan prinsip syariah, mengatur konsep syariah kedalam alat pengukuran dasar pengimplementasian aturan islam dalam manajemen.
Perbandingan perbankan konvensional dengan perbankan islam.
No. Komponen Perbankan konvensional Perbankan islam Catatan
1. Modal tingkat kemampuan membayar sama _____
prediksi sama ---
____ Peran pihak ketiga Adanya investasi tabungan membawa dasar dalam perorangan pihak ketiga sebagai aspek penting
2. Kualitas aktifa produktif Kemungkinan gagal Sama ----
--- Pendapatan yang berubah rubah Adanya pendapatan aset yang berubah rubah
Performance sama ---
Risiko konsentrasi sama ---
Administrasi sama ---
3. Kualitas manajemen Manajemen umum(GCG,transparan,efisien) sama ---
--- Manajemen umum pada nilai syariah dalam bermanajemen Ada nilai islam yang harus dijalankan dalam keprofesionalismean,bermoral dan persaudaraan
Manajemen risiko(identifikasi,pengukuran,pengawasan,pengendalian) sama ---
Kepatuhan-pengamanan sama ---
--- Kepatuhan pada syariah Kemampuan manajemen yang mematuhi peraturan yang ada
4. rentabilitas BEF secara efisien Sama ---
--- BEP-kebijakan penentuan harga Penaksiran pola dalam menentukan harga atas modalnya
Kepatuhan industri-ROA dE ROE sama ---
--- ROE keuntungan Pengukuran pada hasil nilai tambah dan membandingkan dengan aspek non keuangan
5. likuiditas Mitsmach dalam jangka pendek sama ---
--- Mitsmach dalam jangka pendek(pemindahan risiko) Pengukuran pada hasil potensial pemindahan pembiayaan dari perputaran dalam pasar
Mitsmach dalam struktural sama ---
6. Sensitifitas pada risiko pasar Risiko tingkat bunga Analisis skenario pada penempatan risiko komersial Pengukuran pada hasil potensial pemindahan pembiayaan dari perputaran dalam pasar

Secara umum, sistem penilaian perbankan islam mempunyai objektifitas yang sama dengan perbankan konvensional, kecuali:
1) Peranan agency dalam pengukuran modal
2) Adanya variabel pendapatan aset
3) Kebutuhan dalam menggabungkan nilai islam dalam manajemen dan kepatuhan terhadap kebijakan internal
4) Kebijakan harga
5) Prinsip distribusi nilai tambahan
6) Kemungkinan pergerakan pemindahan risiko sebagai hasil pergerakan indikasi pasar.

Perbedaan operasional perbankan islam dibandingkan dengan perbankan konvensional dalam beberapa aspek antara lain:
a. Keseluruhan transaksi keuangan harus sesuai dengan persetujuan syariah oleh pengawasan syariah yang melindungi aspek hukum dan transaksi dan objek yang ditransaksi.
b. Perbedaan struktur keuangan harus membutuhkan rasio keuangan yang berbeda dan metode-metode yang dapat mengukur tingkat kesehatan.



GADAI


A.    Gadai
1.      Pengertian Gadai
Secara umum pengertian gadai adalah kegiatan menjaminkan ‘barang-barang berharga’ kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang, dimana barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.[1]
Menurut Y. Sri Susilo, Sigit dan Totok, Gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh seorang yang memiliki piutang atas suatu barang bergerak.[2] Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang yang memiliki hutang atau oleh orang lain atas nama orang yang memiliki hutang. Seorang yang berutang tersebut memberikan kekuasaanya kepada orang yang berpiutang untuk menggunakan barang bergerak yang telah diserahkan untuk melunasi hutangnya apabila pihak yang berhutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat pinjamannya jatuh tempo.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1150 disebutkan:
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang yang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepada oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuatan kepada orang yang berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari pada orang yang berpiutang lainnya, dengan pengecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.[3]

Sedangkan pengertian umum Perusahaan Umum Pegadaian adalah suatu badan usaha di Indonesia yang secara resmi mempunyai ijin untuk melaksanakan kegiatan lembaga keuangan berupa pembiayaan dalam bentuk penyaluran dana ke masyarakat atas dasar hukum gadai.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh oleh orang yang berpiutang atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh orang yang berutang sebagai jaminan utamanya dan barang tersebut dapat dijual (dilelang) oleh yang berpiutang bila yang berutang tidak dapat melunasi kewajibannya pada saat jatuh tempo.[4]
2.      Unsur-Unsur Gadai
Berdasarkan pasal 1150 KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan beberapa unsur utama konsep pegadaian, antara lain:[5]
a.       Sebagai lembaga pembiayaan;
b.      Debitur menyerahkan jaminan barang bergerak yang nilainya seimbang atau lebih besar dari jumlah piutang. Barang bergerak tersebut harus diserahkan kepada dan berada dalam kekeuasaan kreditur sampai pinjaman debitur itu dilunasi;
c.       Ditentukan hari jatuh tempo pinjaman sebagai waktu pelunasan. Bersamaan dengan pelunasan hutang tersebut, pegadaian mengembalikan barang jaminan kepada peminjam (debitur) bersama dengan dokumen bukti pelunasan hutang dan dokumen pengemblian barang jaminan;
d.      Dalam hal pinjaman tidak dilunasi setelah jatuh tempo, barang jaminan dapat dilelang untuk melunasi pinjaman; dan
e.       Semua biaya pemeliharaan barang jaminan dan biaya lelang dibebankan kepada peminjam (debitur).
B.     Gadai syariah
1.      Pengertian
Secara etimologi, rahn berarti وَامُ لدَّوَا اَلشُّبُوْتُ (tetap dan lama), yakni tetap atau berarti  مُ وْوَاللُّزُ اَلْحَبْسُ (pengekangan dan keharusan). Menurut terminologi syara’, rahn berarti[6]:
مِنْهُ ؤُهُ اِسْتِفَا يُمْكِنُ بِحَقٍّ شَىْءٍ حَبْسُ
Artinya:
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”

Perjanjian gadai dalam Islam disebut rahn, yaitu perjanjian menahan sesuatu barang sebagai tanggungan utang. Kata rahn menurut bahasa berarti “tetap”, “berlangsung”, dan “menahan”.[7] Sedangkan menurut istilah berarti menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima. (Basyir, 1983:50).
Rahn dapat juga diartikan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Dilain pihak rahn yaitu perjanjian penyerahan barang atau harta anda sebagai jaminan berdasarkan hukum gadai berupa emas/perhiasan/kendaraan atau barang bergerak lainnya.[8]
Menurut Bank Indonesia (1999) rahn adalah akad penyerahan barang atau harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang. [9]
Selanjutnya Imam Taqiyyudin Abu Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Iktisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: akad atau perjanjian utang-piutang dengan harta sebagai kepercayaan atau penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya.
Lebih lanjut Imam Taqiyyuddin mengatakan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan jaminan utang adalah semua barang yang dapat dijual-belikan, artinya semua barang yang dapat dijual itu dapat digadaikan.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulakan bahwa rahn merupakan suatu akad piutang dengan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara’ sebagai jaminan, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang.[10]
2.      Dasar Hukum
Pada dasarnya gadai menurut Islam, hukumnya adalah boleh (jaiz). Seperti yang tercantum, baik dalam Al-Qur’an, Al Sunnah maupun Ijma’.
a)      Al-Quran
Dalil kebolehan gadai, seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqarah, ayat 283 yang berbunyi sebagai berikut:[11]
bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr&
Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# رَبَّهُ …….
  Artinya:
 “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)..”(al-Baqarah: 283)

Ayat di atas adalah dalil bahwa gadai itu diperbolehkan dalam perjalanan atau tidak dalam perjalanan. Penyebutan gadai dalam perjalanan hanyalah sebagai contoh umum, karena dalam perjalanan biasanya tidak ada penulis atau saksi. Ayat tersebut secara eksplisit menyebutkan “barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan (collateral) atau obek pegadaian.
b)     Hadist
Aisyah berkata bahwa Rasul bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَم إِشْتَرَى مِنْ يَهُودِيٍّ
 طَعَامًا إِلَي أَجَلٍ وَرِهَنَهُ دِرْعَهُ (رواه البخاري)
Artinya:
Rasullulah membeli makanan dari seorang yahudi dan meminjamkan kepadanya baju besi. (HR. Bukhari no. 1926, kitab al-buyu, dan Muslim).

Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda: Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia mempeoleh manfaat dan menanggung resikonya.(HR Aay’Syafii, al Daraqutni dan Ibnu Majah).
Dari Abu Hurairah r.a. Nabi Shallalahu Alaihi Wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلّم الرَّهْنُ يُرْكَبُ
 بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرهُونًا وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بَنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا وَعَلى الّذِي يَركَبُ
وَيَشْرَبُ النَّفَقَتِهِ

Artinya:
Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (Menjaganya). Apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum (oleh orang yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaganya). Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengeluarkan biaya (perawatannya). (HR. Jamaah, kecuali Muslim dan An Nasai, Bukhari no.2329, kitab ar-rahn).[12]

c)      Ijtihad
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat bahwa diisyaratkan pada waktu tidak bepergian maupun pada waktu bepergian, berargumentasi kepada perbutan Rasulullah SAW terhadap riwayat hadis tentang orang Yahudi tersebut di Madinah.[13]
Adapun keadaan dalam perjalan seperti ditentukan dalam QS.Al-Baqarah 283, karena melihat kebiasaan dimana pada umumnya rahn dilakukan pada waktu bepergian (Sayyid Sabiq, 1987:141). Adh-Dhahak dan penganut madzab az-Zahiri berpendapat bahwa rahn tidak disyariatkan kecuali pada waktu bepergian, berdalil pada ayat tadi. Pernyataan mereka telah terbantahkan dengan adanya hadis tersebut.
Di samping itu, para ulama sepakat membolehkan akad rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Asilatuhu. 1985, V:181). Landasan ini kemudian diperkuat dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/II/2002 dan No.68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily.
3.      Syarat Sah dan Rukun Gadai Syariah
Sebelum dilakukan rahn, terlebih dahulu diadakan akad. Akad menurut Mustafa az-Zarqa’ adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua belah pihak atau beberapa pihak yang berkeinginan untuk mengingatkan diri. Kehendak pihak yang mengingatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad.[14]
Ulama fiqh berbeda pendapat dalam meneteapkan rukun rahn. Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 4 (empat), yaitu:[15]
a.       Shighat (lafadz ijab dan qabul);
b.      Orang yang berakad (rahin dan murtahin);
c.       Harta yang dijadikan marhun; dan
d.      Utang (marhun bih).
Ulama hanafiyah berpendapat, rukun rahn itu hanya ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai jaminan pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang jaminan itu). Menurut Ulama Hanafiah, agar lebih sempurna dan mengikat akad rahn, maka diperlukan qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi utang. Adapun rahin, murtahin, marhun, dan marhun bih itu termasuk syarat-syarat rahn,bukan rukunnya.[16]
Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu:
a.      Syarat yang terkait dengan orang yang berakad, adalah cakap bertindak hukum (baligh dan berakal). Ulama hanafiyah hanya mensyaratkan cukup berakal saja. Karenanya, anak kecil yang mumayyiz (dapat membedakan antara yang baik dan buruk) boleh diadakan akad rahn, dengan syarat mendapatkan persetujuan dengan walinya.
b.      Syarat sighat (lafadz)
Ulama Hanafiah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, sebab rahn jual-beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang sahih dan yang rusak. Urainnya adalah sebagai berikut.[17]
1)        Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa syarat dalam rah ada tiga:
a)        Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehinga jaminan tidak disita.
b)        Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminanya diberi makanan tertentu, syarat seperti ini batal, tetapi akdanya sah.
c)        Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.
2)        Ulama Malikiah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi menjadi dua, yaitu rahn sahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang di dalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada suatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada di bawah tanggung jawab rahin.
3)        Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama Malikiyah di atas, yakni rahn terbagi menjadi dua, sahih dan fasid. Rahn sahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan. Rahn fasid adalah rahn yang tidak memenuhi persyaratan.




c.       Syarat Marhun (barang yang digadaikan)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh rahin (pemberi gadai) adalah: [18]
1.      Dapat diserah terimakan, baik materilnya maupun manfaatnya.
2.      Bermanfaat
3.      Milik rahin (orang yang menggadaikan)
4.      Jelas
5.      Tidak bersatu dengan harta lain
6.      Dikuasai atau dimiliki oleh rahin
7.      Harta yang tetap atau dapat dipindahkan.
d.      Syarat Marhun bih (utang)
Menurut ulama hanafiyah dan Syafiiyah syarat utang yang dapat dijadikan alas gadai adalah: [19]
1)      Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
Menurut ulama selain Hanafiah, marhn bih hendaklah berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun berbentuk benda.
2)      Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkannya rahn.
3)      Hak atas marhun bih harus jelas
Dengan demikian, tidak boleh memberikan dua marhun bih tanpa dijelaskan utang mana yang menjadi rahn.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi marhun bih :
1)      Berupa utang tetap dan dapat dimanfaatkan;
2)      Utang harus lazim pada waktu akad;
3)      Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
4.      Hak dan Kewajiban
Secara umum, hak dan kewajiban yang terdapat dalam perjanjian gadai adalah sebagai berikut:[20]
Tabel 2.2 Hak dan Kewajiban Penerima dan Pemberi Gadai
Penerima Gadai (Murtahin)
Hak
Kewajiban
1)      Penerima gadai (murtahin) mendapatkan biaya administrasi yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda gadai (marhun).
2)      Murtahin mempunyai hak menahan marhun sampai semua utang (marhun bih) dilunasi.
3)      Penerima gadai berhak menjual marhun apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajiban. Hasil penjualan diambil sebagian untuk melunasi marhun bih dan sisanya dikembalikan kepada rahin.
1)      Murtahin bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harga marhun bila itu disebabkan oleh kelalaian.
2)      Murtahin tidak boleh menggunakan barang gadai untuk kepentingan pribadinya.
3)      Murtahin berkewajiban memberi informasi kepada rahin sebelum mengadakan pelelangan harta benda gadai.
Pemberi Gadai (Rahin)
1)      Pemberi gadai (rahin) berhak mendapatkan pembiayaan dan/ atau jasa penitipan.
2)      Rahin berhak menerima kembali harta benda yang digadaikan sesudah melunasi hutangnya.
3)      Rahin berhak menuntut ganti rugi atas kerusakan dan/ atau hilangnya harta benda yang digadaikan.
4)      Rahin berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.
5)      Rahin berhak meminta kembali harta benda gadai jika diketahui adanya penyalahgunaan.
1)      Rahin berkewajiban melunasi marhun bih yang telah diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang disepakati.
2)      Pemeliharaan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin. Namun jika dilakukan oleh murtahin, maka biaya pemeliharaan tetap menajadi kewajiban rahin. Besar biaya pemeliharaan tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
3)      Rahin berkewajiaban merelakan penjualan marhun bila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan ternyata tidak mampu melunasi pinjamannya.



5.      Persamaan dan Perbedaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional.
a.       Persamaan gadai dengan rahn[21]
1.      Hak gadai berlaku atas pinjaman uang.
2.      Adanya agunan sebagai jaminan utang.
3.      Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan.
4.      Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh pemberi gadai.
5.      Apabila batas waktu pinjaman uang telah habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang.[22]
b.      Perbedaan Gadai Syariah (Rahn) dan Gadai Konvensional[23]
1.      Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar tolong-menolong tanpa mencari keuntungan; sedangkan gadai menurut hukum perdata disamping berprinsip tolong-menolong juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal yang ditetapkan.
2.      Dalam hukum perdata, hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak; sedangkan dalam huklum islam, rahn berlaku pada seluruh harta, baik harta yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
3.      Dalam Rahn, menurut hukum Islam tidak ada istilah bunga uang.
4.      Gadai menurut hukum perdata, dilaksanakan melalui suatu lembaga, yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian; Rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga.
Menurut Madzab Hanafi penerima Rahn boleh memanfaatkan barang yang menjadi jaminan utang atas izin pemiliknya, karena pemilik barang itu boleh mengizinkan kepada siapa saja yang dikehendakinya untuk menggunakan hak miliknya, termasuk untuk mengambil manfaat barangnya. Hal ini menurut mereka bukan riba, karena pemanfaatan barang itu diperoleh melaui izin.[24]


[1]Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), (Jakarta: UI-Press, 2006),h.125.

[2] Susilo, Y. Sri, Sigit Triandaru, dan A. totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, cetakan pertama (Jakarta : Salemba Empat,2000),h.212.

[3] Andri soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:kencanan 2009)cet. Ke-1 h.394.

[4]  Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003).h.17

[5] Fathurrahman Djamil, Seminar Pegadaian Syariah: Eksistensi Pegadaian Syariah di Indonesia dengan tema Pegadaian Syariah Dalam Perspektif Fiqh Muamalah Kontemporer, (UIN Jakarta:aula student center, 2011), h.8.

[6] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka Setia,2001),h.159.

[7] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),h.50.

[8] Ahmad Rodoni, INVESTASI SYARIAH,(Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009),h.183.

[9] Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2007),h.28.

[10] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003). h.50

[11] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori Ke Praktik, cetakan 1 (Jakarta: Gema Insani Press,2001),h.128
[12] Ahmad Romdoni, INVESTASI SYARIAH,(Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009),h.186.

[13]Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,2006), h.91.
[14] Mustafa az-Zarqa’ dalam M. Ali Hasan, Berbagai macam Transaksi dalam Islam, cetakan pertama, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003),h.102-103

[15] Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional (Suatu Kajian Kontemporer), (Jakarta: UI-Press, 2006),h.42

[16] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, cetakan pertama, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000),h.254

[17] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka Setia,2001),h.163
[18]Abdul Ghofur Anshori, Gadai Syariah di Indonesia: Konsep, Implementasi dan Institusionalisasi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,2006), h .92.

[19] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah,(Bandung: CV Pustaka Setia,2001),h.163-164.
[20] Burhanuddin S, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah,(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),h.173-174
[21] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003). h.42.

[23] Muhammad Sholahuddin, Lukman Hakim, Lembag Ekonomi dan Keuangan Syariah Kontemporer, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2008).h.123.
[24] Muhammad Sholikul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003). h.43.

bintang