A. Pengertian Keadilan Distribusi
Pengertian Keadilan distribusi adalah prinsip pertukaran
(exchange) antara seseorang memperoleh
pendapatan yang wajar dan adil sesuai dengan kinerja dan kontribusi yang
diberikanya. Karena itu, M. Anas Zarqa mengemukakan beberapa prinsip distribusi
dalam ekonomi islam, yaitu : 1) pemenuhan kebutuhan bagi semua mahluk; 2)
menimbulkan efek positif bagi pemberi itu sendiri misalnya zakat, selain selain
dapat membersihkan diri dan harta muzakki juga meningkatkan keimanan dan
menumbuhkan kebiasaan berbagi dengan orang lain; 3) menciptakan kebaikan di
antara semua orang kaya dan miskin; 5) penmafaatan leih baik terhadap sumber
daya alam asep tetap; 6) memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian
M.A Mannan, menyebutkan bahwa teori ekonomi modern tentang
distribusi merupakan suatu teori yang menetapkan harga jasa produksi. Muhammad
anas zarqa (1995) mengatakan, ada beberapa faktor yang menjadi dasar
reditribusi, yaitu tukar menukar (exchange), kebutuhan (need), kekuasaan
(power), sistem sosial dan nilai etika (sosial system and ethical values).
Distribusi juga didasarkan atas kebutuhan, beberapa
kebijakan redtribusi dalam sebuah negara juga sering kali juga diadopsi dari
sistem dan nilai-nilai sosial yang ada, sebagai contoh, yaitu: a) alokasi
pendapatan nasional utuk para pendeta dalam suatu kelompok masyarakat; b)
alokasi dana untuk para penjabat public; c) alokasi dana untuk intitusi sosial;
d) kebijakan tentang larangan atas transaksi barang-barang yang tidak
bermanfaat dan lain-lain. Anas zarqa melihat begitu pentingnya memelihara
kelancaran distribusi ini agar tercipta sebuah kegiatan ekonomi yang dinamis,
adil, dan produktif.
Menurut M. Syafi’i Antonio, pada pada dasarnya islam memiliki
dua sistem distribusi utama, yakni distribusi secara komersial dan mengikuti
mekanisme pasar serta sistem distribusi yang bertumpu pada aspek keadilan
sosial masyarakat. Sistem distribusi pertama bersifat komersial, berlangsung
melalui proses ekonomi. Adapun sistem yang kedua, berdemensi sosial, yaitu
islam menciptakannya untuk memastikan keseimbangan pendapatan dimasyarakat.
Mengingat tidak semua orang mampu terlibat dalam proses ekonomi karena yatim
piatu atau jompo dan cacat tubuh, islam memastikan distribusi bagi mereka dalam
bentuk zakat, infak, dan sedekah. Keindahan lain sistem redtribusi dalam islam
adalah warisan. Dengan warisan islam ingin memastikan bahwa aset dan kekuatan
ekonomi tidak boleh terpusat pada seseorang saja, betapa pun kayanya seseorang
jika jika si bapak meninggal maka anak, isteri, ibu, bapak, kakek, dan kerabat
lainnya akan kebagian peninggalannya.
B. Keseimbangan Ekonomi
Sistem pasar laissez-fairez dengan paradigma invisible hand
yang bertitip bahwa ekonomi dalam jangka panjang akan selalu ada pada
kondisikeseimbangan, telah banyak dikrtik karena tidak menciptakan suasana
pasar yang seimbang dan adil, bukan saja oleh pakar ekonomi islam tetapi juga
pakar ekonomi konvesional. Kritik yang sangat terkenal adalah kritik yang berasal
dari jhon maynard keynes yang dikutip dalam buku Ali sakti, dengan menegaskan
(atas asumsi dan definisinya ssendiri tentang jangka panjang) bahwa ”in the
long run we are all dead”. Bahkan penyokong para pemikir klasik (yang mengusung
prinsip invisible hand) ; Muelson dan noerdhaus (1992), mengungkapkan bahwa
kebutuhan manusia senantiasa jatuh ketangan orang yang paling mampu membelinya,
bukan ketangan orang yang paling membutuhkannya. Ini merupakan konsukuensi dari
pasar bebas sehingga diperlukan campur tangan eksternal (kebijakan ekonomi)
dalam menekan kecendrungan yang disebabkan oleh laissez-fairez.
Pendapat Sri-Edi Swasono dalam bukunya daulat rakyat versus
daulat pasar dinyatahkan bahwa pasar adalah suatu mekanisme lelangan belaka,
yang kuat (memiliki dana) akan memenangkan lelang.
Persaingan pasar bebas (perfect information) dan pasar
bebas (freemarket), menurut smithian akan menjamin optimasi manfaat, yakni
efisiensi ekonomi. Oleh karena itu, menurut kaum fundamentalis pasar, kebebasan
individual haruslah sepenuhnya (perfect individual liberty) untuk dapat
mengoptimalkan pamrih pribadi (self-interest) yang menjadi dasar ahlak manusia
ekonomi (konvesional, pen). Itulah sebabnya ideologi ekonomi pasar bebas yang
berdasarkan stelsel laisez faire menolak subsidi dan proteksi.
C. Keadilan Sosial
Menurut Farhan Nomani dan Ali Rahnema dalam tulisan Dawam
Rahardjo, terdapat dua pandangan mengenai keadilan sosial. Pada pandangan pertama
disebutnya sebagai pandangan modernis yang moderat. Dalam pandangan ini keadilan
sosial diartikan sebagai penghapusan diksriminasi dan pemberian kesempatan yang
sama kepada setiap orang. Konsukuensinya seorang akan menerima hasil yang
sesuai dengan kemampuannya ( to each according to his or her ability).
Pandangan kedua adalah pandangan radikal yang mengimbau adanya
perubahan revolusioner guna membentuk masyarakat tanpa kelas berdasarkan
kesamaan yang absolut dalam pendapatan, kekayaan bahkan konsumsi. Aliran
moderat percaya bahwa keadilan sosial islam lebih menyetujui konsep keadilan
sebagai kesetaraan (equity) dari pada persamaan (equility).
Kesetaraan berarti kewajaran (fairness). Perbedaan kemampuan manusia,
usaha, kecerdasan, keterampilan, kebiasaan kerja dan kewirastawaan harus
dihargai.
Monzer kahf mengemukakan bahwa perbedaan kekayaan yang
dimiliki manusia karena potensi dan usaha yang
dilakukannya merupakan suatu keadilan. Sistem penghargaan berdasarkan
perbedaan di antara manusia bukanlah berarti diskrimnasi karena tuhan sendiri menyatakan
adanya perbedaan itu dalam proses penciptaan.
D. Aspek Pelarangan Riba
Hal yang paling mendasar dari pengembangan sistem lembaga
keuangan syariah adalah adanya pelarangan riba dan pengembangan transaksi
syariah. Secara normatif, keharaman riba ini dapat dijumpai dalam ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah saw. Di dalam Al-Qur’an, para mufassir
mengatakan bahwa proses keharaman riba disyariatkan Allah secara bertahap
sebagai berikut.
Tahap pertama, Allah
menunjukkan bahwa riba bersifat negatif. Pernyataan ini disampaikan Allah dalam
surat Al-rum (30):39 yang berbunyi:
وَمَآءَاتَيْتُم
مِّن رِّبًا لِيَرْبُوا فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوا عِندَ اللهِ
وَمَآءَاتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Terjemahnya
"Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia. Maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya)." (Q.S. Ar Rum: 39).
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang
buruk. Allah I mengancam
memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba.
فَبِظُلْمٍ مِّنَ
الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ
عَنْ سَبِيلِ اللهِ كَثِيرًا وَأَخْذِهِمُ الرِّبَاوَقَدْنُهُوا عَنْهُ
وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ
مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ
Terjemahnya
"Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan
atas mereka yang (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal
sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta
orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan
untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih." (Q.S. An Nisa: 160-161)
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir
berpendapat, bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan
fenomena yang banyak dipraktekkan pada
masa tersebut. Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Terjemahnya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Ali Imran: 130).
Ayat tersebut turun pada tahun ke 3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria
berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka riba tetapi jikalau
kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu. Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari Surat al Baqarah yang turun pada tahun ke 9 Hijriyah. (Keterangan
lebih lanjut, lihat pembahasan “Alasan Pembenaran Pengambilan Riba”, point “Berlipat-Ganda”).
Tahap terakhir, Allah dengan jelas dan tegas mengharam-kan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut
riba.
يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا
مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}
Terjemahnya:
"Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba
jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya."
(Q.S. Al Baqarah: 278-279)
E. Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing
adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
a) Riba Qardh ( ربِا
القرض
)
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan
tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
b) Riba Jahiliyyah (ربِا
الجاهلية
)
Hutang dibayar lebih dari
pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu
yang ditetapkan.
c) Riba Fadhl (ربِا الفضل )
Pertukaran antarbarang sejenis dengan
kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang
ribawi.
d) Riba Nasi’ah ( ربِا
النسيئة
)
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, Ibnu
Hajar al Haitsami menguraikan yang
artinya sebagai berikut.
Bahwa
riba itu terdiri atas tiga jenis, yaitu: riba fadl, riba al yaad, dan
an nasiah. Al Mutawally menambahkan jenis riba yang ke empat, yaitu riba al
qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis riba dimaksud mempunyai
status hukum haram secara ijma’ ulama mengambil rujukan berdasarkan Alqur’an
dan Hadis Nabi Muhaammad.
Para ahli hukum
Islam telah membahas masalah jenis riba dan harta yang yang
dimiliki oleh seseorang temasuk kategori riba. Karena itu, penulis menguraikan
kesimpulan umum dari pendapat ulama mengenai harta dan/atau barang
yang mempunyai kategori riba, yaitu: (a) emas dan perak, baik itu dalam
bentuk
uang maupun dalam bentuk lainnya; (b) bahan makanan pokok seperti beras, gandum, dan jagung serta bahan makanan
tambahan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Pengelompokan
ke dua jenis harta dan/atau barang dimaksud, bila dikaitkan dengan perbankan
syariah maka mempunyai ketentuan tukar-menukar antar barang-barang
dimaksud, sebagai berikut.
(a) Jual-beli antara barang-barang sejenis hendaklah
dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut, harus diserahkan saat transaksi jual-beli.
Misalnya rupiah dengan rupiah hendaklah
Rp 5.000,00 dengan Rp 5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.
(b)
Jual beli antara barang-barang yang berlainan jenis diper-bolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat akad jual-beli.
Misalnya Rp 5.000,00 dengan 1 dollar Amerika.
(c) Jual-beli barang dengan yang
bukan barang tidak disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserah-kan pada saat akad.
Misalnya mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
(d) Jual beli antara
barang-barang yang tidak mempunyai persamaan dan diserahkan pada
waktu akad, misalnya pakaian dengan barang elektronik.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqih.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Ali, H. Mohammad Daud. Asas-Asas Hukum
Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Press, 1991
Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan
Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
--------------.
Hukum Ekonomi Syariah, Cet.
Ke 2 Sinar Grafika, Jakarta, 2009
Euis Amalia, Keadilan
Distributif dalam Ekonomi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009
Khallaf, Abdul Wahab.‘Ilmu Ushul al-Fiqh.
Jakarta: Majelis al-‘Ala Indonisiy lil al-Da’wah al-Islamiyah, 1972.
---------------.
Kaidah-kaidah Hukum Islam. Diterjemahkan oleh
Noer Iskandar. Jakarta: Rajawali Press, 1996
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Cetakan
ke 4, Prenada Media Group, Jakarta, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar