assalamu'alaikum....

Jumat, 27 Januari 2012

Hukum-Hukum Jual Beli Hutang (Ba’iu Ad-Dain)



Imam hazm ad-zhohiri berpendapat tidak ada kebolehan pada transaksi ba’iu ad-dain secara mutlaq (umum) dalam seluruh bentuk-bentuk dan keadaan. Berbeda dengan jumhur ulama yang berpendapat bahwa transaksi ba’iu ad-dain itu diperbolehkan pada sebagian bentuk dan melarang pada sebagian bentuk yang lain. Karena jumhur ulama memilki rincian hukum-hukum dan penjelasan yang terkait pembahasan ini. Penjelasan para fuqaha terhimpun dalam 8 bentuk transaksi ba’iu ad-dain diantaranya sebagai berikut :
1.       . Bentuk ke-I ( bai’u ad-dainimuajjali lilmadiini bitsamanil muajjali )
Para jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada kebolehan melakukan taransaksi ini karena termasuk dalam katagori “bai’u al-kali bil kali” hutang yang diakhirkan pembayarannya dengan hutang yang juga diakhirkan pembayarannya. Transaksi ini dilarang oleh nabi Muhammad saw.
Atas dasar ini terjadinya kesepakatan ulama atas pelarangannya.
Ø Imam as-Subki mendefinikan bai’u ad-dain bi ad-dain yaitu seseorang memilki tanggungan hutang kepada orang lain, maka orang yang berhutang meng-hiwalah-kan dengan kepada orang lain dengan sifat dan takaran yang berbeda.
Ø Imam ibn abidin berkata seseorang memiliki hutang kepada orang lain berupa gandum, maka dia menjual gandum yang belum diterima kepada orang lain dengan harga tertentu yang dibayar bulan depan, maka transaksi ini dilarang dan termasuk dalam katagori bai’u al-kali bil kali.

Imam ibn taimiyah dan ibn qoyyim berpendapat transaksi ini boleh, mereka berhujjah diantaranya:
a.       Dalam transaksi itu terdapat tujuan yang dibenarkan dan tuntutan manfaat, ketika seorang yang berhutang melepaskan tanggungannya dari hutang yang pertama dan membuat terbengkalai hutang-hutang yang lain atau dengan hal ini seorang dain (yang memberi hutang ) mendapat kemudahan dan manfaat maka perkara ini diperbolehkan dilihat dalam aspek kemaslahatan .” saling memberikan manfaat itu dibenarkan dalam syariat islam “Dalam kasus ini pendapat jumhur lebih dimenangkan daripada pendapat Ibnu Qayyim karena ulama para fuqaha bersepakat transaksi ini bathil (di tolak). Contoh : Seseorang melakukan akad jual-beli dengan hutang jatuh tempo dan barang itu belum diterima oleh pembeli kemudian si pembeli itu menjual kepada orang lain dengan sistem hutang jatuh tempo.
2.       Bentuk ke-II (Baiu ad-dain al-hali lil madini bitsamanin halin) Dalam bentuk ini para fuqaha membedakan dalam dua hal:
a)         Keadaan hutang yang tetap
b)        Keadaan hutang yang tidak tetap
Keadaan yang pertama: Apabila hutang itu tetap seperti membayar denda karena merusak, membayar hutang, memberi gaji yang sudah jatuh tempo, dan mahar seorang isteri yang telah di jima, maka jumhur ulama membolehkan transaksi ini.
Contoh : Seseorang berhutang kepada isterinya berupa mahar (dalam bentuk rumah) lalu seorang isteri menjual kepada orang lain dengan tunai, maka hal itu diperbolehkan.
Adapun hujjahnya :
·        Berdasarkan hadits nabi Muhammad saw yang diriwayatkan Abu Daud, Tirmidji dan an-Nasa’i dari Ibnu Umar berkata seseorang “sesungguhnya aku mendatangi nabi dan aku berkata sungguh aku menjual seekor unta si tanah baqi’ dengan beberapa dinar maka dinar itu diganti dengan beberapa dirham maka aku mengambilnya dan sebaliknya, maka nabi bersabda “tidak apa-apa apabila kalian berdua berpisah dan tidak ada sesuatu diantara kalian berdua”.
Hal ini dijadikan dalil atas kebolehan jual beli sesuatu dalam tanggungan dari salah satu dua orang yang berakad dengan yang lain dan apabila orang yang membeli itu seorang madin (yang meminjam uang) dan juga dalam bentuk tsamanul haali.
·        Sesungguhnya tanggungan seorang madin telah diterima oleh seorang dain (pemberi hutang), maka apabila tanggungan telah diserahkan kepada dain maka diperbolehkan oleh syariat.
Keadaan yang kedua : Apabila hutang itu tidak tetap seperti upah yang belum jatuh tempo dan mahar seorang isteri yang telah di jima, maka para ulama fikih berbeda pendapat terutama imam Ahmad bin Hanbal tidak membolehkan kan seperti itu karena kepemilikannya belum sempurna.
Contoh: seseorang suami mempunyai tanggungan mahar berupa sebuah sepeda motor tetapi suaminya belum menjima’ nya, suatu saat isterinya menjual kepada orang lain maka dilarang praktek jual beli itu. Akan tetapi imam Hanafi, imam Syafii dalam kaul adhhar (kuat dan jelas) memperbolehkan akad tersebut karena hutang itu sudah bersifat tetap selama tidak berpisah diantara keduanya.
3.      Bentuk ke-III (bai’u ad-daini al-haali lil madini bitsamanin muajjalin) Jumhur ulama berpendapat bahwa transaksi ini tidak diperbolehkan karena masih termasuk dalam bentuk transaksi yang pertama tetapi Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim membolehkan dengan alasan yang telah dikemukakan pada bentuk transaksi yang pertama.
Contoh: Seseorang berhutang dengan akad dain al-haali dalam keadaan barang belum diterima kemudian orang yang berhutang menjual barang tersebut dengan akad dain al-muajjal (jatuh tempo).
4.      Bentuk ke -IV (bai’u ad-dain al-muajjali lil madini bitsamanin muajjalin)
Dalam bentuk ini hukumnya disamakan pada bentuk bai’u dainil haali lil madini bitsamanin haali
.
5.      Bentuk ke-V (bai’u daini al-muajjali li ghairi al-madini bitsamanin al-muajjalin)
Imam Jamahir berpendapat transaksi ini tidak boleh meskipun mereka bersepakat dalam jatuh tempo hutang atau berbeda. Transaksi ini dikategorikan masih termasuk transaksi bentuk yang pertama yang berdasarkan kesepakatan ulama atas pelarangan transaksi dan juga termasuk jual beli sesuatu yang tidak diketahui ukurannya atau barangnya tidak berada ditangan si penjual, maka hal ini memungkinkan terjadinya gharar dan tidak dihalalkan menurut syariat.
Contoh: seseorang memiliki hutang kepada orang lain dengan akad dainul muajjal (jatuh tempo) kemudian barang tersebut dijual melalui orang lain kepada pihak lainnya dengan akad tsamanul muajjal
.
6.      Bentuk ke-VI (bai’u ad-daini al-haali lil ghairi madini bitsamanin muajjalin)
Jumhur ulama berpendapat bahwa transaksi ini tidak diperbolehkan karena jual beli sesuatu yang tidak berada ditangan si penjual, maka seperti jual beli sesuatu yang tidak tahu ukurannya dan juga memungkinkan seorang madin (si peminjam) mencegahnya atau membatahnya maka hal itu memungkinkan munculnya gharar.
7.      Bentuk ke-VII (bai’u ad-daini al-haali lil ghairi al-madini bitsamanin al-haalin)
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat:
a.      Jumhur ulama dalam kaul yang adzhar tidak membolehkan transaksi tersebut karena tidak adanya kepastian kadar barang dan juga memungkinkan timbulnya gharar. Contoh: seseorang memiliki hutang 1000 dirham dalam akad Qard maka sipemberi pinjaman menjual hutangnya kepada pihak lain, maka hal tersebut dilarang.
b.      Ibnu Taimiyah dalam fatwanya berpendapat diperbolehkan menjual hutang pada tanggungan dari orang yang berhutang atau selainnya.

8.      Bentuk ke-VIII ( bai’u ad-daini al-muajjali lil ghairi madini bitsamanin haalin)
Jumhur ulama tidak memperbolehkan secara mutlak karena ketidakadaan syarat jual beli yaitu kadar atau wujud barang yang dijual, sekiranya seorang penjual disini menjual sesuatu yang bukan dalam penguasaannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah membolehkan hal tersebut hal ini terdapat didalam kumpulan fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bintang