Imam hazm
ad-zhohiri berpendapat tidak ada kebolehan pada transaksi ba’iu ad-dain secara
mutlaq (umum) dalam seluruh bentuk-bentuk dan keadaan. Berbeda dengan jumhur
ulama yang berpendapat bahwa transaksi ba’iu ad-dain itu diperbolehkan pada
sebagian bentuk dan melarang pada sebagian bentuk yang lain. Karena jumhur
ulama memilki rincian hukum-hukum dan penjelasan yang terkait pembahasan ini.
Penjelasan para fuqaha terhimpun dalam 8 bentuk transaksi ba’iu ad-dain
diantaranya sebagai berikut :
1.
. Bentuk
ke-I ( bai’u ad-dainimuajjali lilmadiini bitsamanil muajjali )
Para jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada kebolehan melakukan taransaksi ini karena termasuk dalam katagori “bai’u al-kali bil kali” hutang yang diakhirkan pembayarannya dengan hutang yang juga diakhirkan pembayarannya. Transaksi ini dilarang oleh nabi Muhammad saw.
Atas dasar ini terjadinya kesepakatan ulama atas pelarangannya.
Para jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada kebolehan melakukan taransaksi ini karena termasuk dalam katagori “bai’u al-kali bil kali” hutang yang diakhirkan pembayarannya dengan hutang yang juga diakhirkan pembayarannya. Transaksi ini dilarang oleh nabi Muhammad saw.
Atas dasar ini terjadinya kesepakatan ulama atas pelarangannya.
Ø Imam
as-Subki mendefinikan bai’u ad-dain bi ad-dain yaitu seseorang memilki tanggungan hutang kepada orang lain, maka orang yang berhutang
meng-hiwalah-kan dengan kepada
orang lain dengan sifat dan takaran yang berbeda.
Ø Imam ibn
abidin berkata seseorang memiliki hutang kepada orang lain berupa gandum, maka
dia menjual gandum yang belum diterima kepada orang lain dengan harga tertentu
yang dibayar bulan depan, maka transaksi ini dilarang dan termasuk dalam katagori bai’u al-kali bil kali.
Imam ibn
taimiyah dan ibn qoyyim berpendapat transaksi ini boleh, mereka berhujjah
diantaranya:
a.
Dalam transaksi itu terdapat tujuan
yang dibenarkan dan tuntutan manfaat, ketika seorang yang berhutang melepaskan
tanggungannya dari hutang yang pertama dan membuat terbengkalai hutang-hutang
yang lain atau dengan hal ini seorang dain (yang memberi hutang ) mendapat
kemudahan dan manfaat maka perkara ini diperbolehkan dilihat dalam aspek
kemaslahatan .” saling memberikan manfaat itu dibenarkan dalam syariat islam “Dalam
kasus ini pendapat jumhur lebih dimenangkan daripada pendapat Ibnu Qayyim
karena ulama para fuqaha bersepakat transaksi ini bathil (di tolak). Contoh : Seseorang melakukan akad jual-beli dengan hutang jatuh tempo dan
barang itu belum diterima oleh pembeli kemudian si pembeli itu menjual kepada
orang lain dengan sistem hutang jatuh tempo.
2. Bentuk ke-II (Baiu ad-dain al-hali
lil madini bitsamanin halin) Dalam bentuk ini para fuqaha membedakan dalam dua hal:
a)
Keadaan hutang yang tetap
b)
Keadaan hutang yang tidak tetap
Keadaan yang pertama: Apabila hutang itu tetap seperti membayar denda karena merusak, membayar
hutang, memberi gaji yang sudah jatuh tempo, dan mahar seorang isteri yang
telah di jima, maka jumhur ulama membolehkan transaksi ini.
Contoh :
Seseorang berhutang kepada isterinya berupa mahar (dalam bentuk rumah) lalu
seorang isteri menjual kepada orang lain dengan tunai, maka hal itu
diperbolehkan.
Adapun
hujjahnya :
·
Berdasarkan hadits nabi Muhammad saw
yang diriwayatkan Abu Daud, Tirmidji dan an-Nasa’i dari Ibnu Umar berkata
seseorang “sesungguhnya aku mendatangi nabi dan aku berkata sungguh aku menjual
seekor unta si tanah baqi’ dengan beberapa dinar maka dinar itu diganti dengan
beberapa dirham maka aku mengambilnya dan sebaliknya, maka nabi bersabda “tidak
apa-apa apabila kalian berdua berpisah dan tidak ada sesuatu diantara kalian
berdua”.
Hal ini dijadikan dalil atas kebolehan jual beli sesuatu dalam tanggungan dari salah satu dua orang yang berakad dengan yang lain dan apabila orang yang membeli itu seorang madin (yang meminjam uang) dan juga dalam bentuk tsamanul haali.
Hal ini dijadikan dalil atas kebolehan jual beli sesuatu dalam tanggungan dari salah satu dua orang yang berakad dengan yang lain dan apabila orang yang membeli itu seorang madin (yang meminjam uang) dan juga dalam bentuk tsamanul haali.
·
Sesungguhnya tanggungan seorang
madin telah diterima oleh seorang dain (pemberi hutang), maka apabila
tanggungan telah diserahkan kepada dain maka diperbolehkan oleh syariat.
Keadaan yang kedua : Apabila
hutang itu tidak tetap seperti upah yang belum jatuh tempo dan mahar seorang
isteri yang telah di jima, maka para ulama fikih berbeda pendapat terutama imam
Ahmad bin Hanbal tidak membolehkan kan seperti itu karena kepemilikannya belum
sempurna.
Contoh:
seseorang suami mempunyai tanggungan mahar berupa sebuah sepeda motor tetapi
suaminya belum menjima’ nya, suatu saat isterinya menjual kepada orang lain
maka dilarang praktek jual beli itu. Akan tetapi imam Hanafi, imam Syafii dalam
kaul adhhar (kuat dan jelas) memperbolehkan akad tersebut karena hutang itu
sudah bersifat tetap selama tidak berpisah diantara keduanya.
3. Bentuk ke-III (bai’u ad-daini al-haali
lil madini bitsamanin muajjalin) Jumhur ulama
berpendapat bahwa transaksi ini tidak diperbolehkan karena masih termasuk dalam
bentuk transaksi yang pertama tetapi Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim membolehkan
dengan alasan yang telah dikemukakan pada bentuk transaksi yang pertama.
Contoh: Seseorang berhutang dengan
akad dain al-haali dalam keadaan barang belum diterima kemudian orang yang
berhutang menjual barang tersebut dengan akad dain al-muajjal (jatuh tempo).
4.
Bentuk ke
-IV (bai’u ad-dain al-muajjali lil madini bitsamanin muajjalin)
Dalam bentuk ini hukumnya disamakan pada bentuk bai’u dainil haali lil madini bitsamanin haali.
Dalam bentuk ini hukumnya disamakan pada bentuk bai’u dainil haali lil madini bitsamanin haali.
5.
Bentuk ke-V
(bai’u daini al-muajjali li ghairi al-madini bitsamanin al-muajjalin)
Imam Jamahir berpendapat transaksi ini tidak boleh meskipun mereka bersepakat dalam jatuh tempo hutang atau berbeda. Transaksi ini dikategorikan masih termasuk transaksi bentuk yang pertama yang berdasarkan kesepakatan ulama atas pelarangan transaksi dan juga termasuk jual beli sesuatu yang tidak diketahui ukurannya atau barangnya tidak berada ditangan si penjual, maka hal ini memungkinkan terjadinya gharar dan tidak dihalalkan menurut syariat.
Contoh: seseorang memiliki hutang kepada orang lain dengan akad dainul muajjal (jatuh tempo) kemudian barang tersebut dijual melalui orang lain kepada pihak lainnya dengan akad tsamanul muajjal.
Imam Jamahir berpendapat transaksi ini tidak boleh meskipun mereka bersepakat dalam jatuh tempo hutang atau berbeda. Transaksi ini dikategorikan masih termasuk transaksi bentuk yang pertama yang berdasarkan kesepakatan ulama atas pelarangan transaksi dan juga termasuk jual beli sesuatu yang tidak diketahui ukurannya atau barangnya tidak berada ditangan si penjual, maka hal ini memungkinkan terjadinya gharar dan tidak dihalalkan menurut syariat.
Contoh: seseorang memiliki hutang kepada orang lain dengan akad dainul muajjal (jatuh tempo) kemudian barang tersebut dijual melalui orang lain kepada pihak lainnya dengan akad tsamanul muajjal.
6.
Bentuk ke-VI
(bai’u ad-daini al-haali lil ghairi madini bitsamanin muajjalin)
Jumhur ulama berpendapat bahwa transaksi ini tidak diperbolehkan karena jual beli sesuatu yang tidak berada ditangan si penjual, maka seperti jual beli sesuatu yang tidak tahu ukurannya dan juga memungkinkan seorang madin (si peminjam) mencegahnya atau membatahnya maka hal itu memungkinkan munculnya gharar.
Jumhur ulama berpendapat bahwa transaksi ini tidak diperbolehkan karena jual beli sesuatu yang tidak berada ditangan si penjual, maka seperti jual beli sesuatu yang tidak tahu ukurannya dan juga memungkinkan seorang madin (si peminjam) mencegahnya atau membatahnya maka hal itu memungkinkan munculnya gharar.
7.
Bentuk
ke-VII (bai’u ad-daini al-haali lil ghairi al-madini bitsamanin al-haalin)
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat:
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat:
a.
Jumhur ulama dalam kaul yang adzhar
tidak membolehkan transaksi tersebut karena tidak adanya kepastian kadar barang
dan juga memungkinkan timbulnya gharar. Contoh: seseorang memiliki hutang 1000
dirham dalam akad Qard maka sipemberi pinjaman menjual hutangnya kepada pihak
lain, maka hal tersebut dilarang.
b.
Ibnu Taimiyah dalam fatwanya
berpendapat diperbolehkan menjual hutang pada tanggungan dari orang yang
berhutang atau selainnya.
8.
Bentuk
ke-VIII ( bai’u ad-daini al-muajjali lil ghairi madini bitsamanin haalin)
Jumhur ulama tidak memperbolehkan secara mutlak karena ketidakadaan syarat jual beli yaitu kadar atau wujud barang yang dijual, sekiranya seorang penjual disini menjual sesuatu yang bukan dalam penguasaannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah membolehkan hal tersebut hal ini terdapat didalam kumpulan fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah.
Jumhur ulama tidak memperbolehkan secara mutlak karena ketidakadaan syarat jual beli yaitu kadar atau wujud barang yang dijual, sekiranya seorang penjual disini menjual sesuatu yang bukan dalam penguasaannya. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah membolehkan hal tersebut hal ini terdapat didalam kumpulan fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar