assalamu'alaikum....

Jumat, 17 Desember 2010

JU'ALAH

JU’ALAH
A. DEFINISI
Ju’alah artinya janji hadiah atau upah. Pengertian secara etimologi berarti upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan tertentu. Secara terminologi fiqih berarti “suatu Iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan upah tertentu secara sukarela terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan atau dihasilkan sesuai dengan yang diharapkan”. Umpamanya, seseorang berkata : “Siapa saja yang dapat menemukan SIM atau KTP saya yang hilang, maka saya beri imbalan Rp. 50.000”. Dalam masyarakat Indonesia ini, biasanya diiklankan disurat kabar supaya dapat dibaca orang.
Madzhab Maliki mendefinisikan Ju’alah : “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”. Madzhab Syafi’i mendefinisikannya: “Seseorang yang menjanjikan suatu upah kepada orang yang mampu memberikan jasa tertentu kepadanya”. Definisi pertama (Madzhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Madzhab Syafi’i) menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan.

B. DASAR HUKUM

Menurut Madzhab Maliki, Syaf’i dan Hanbali berpendapat, bahwa Ju’alah boleh dilakukan atau bersifat jaiz, sesui dengan firman Allah. SWT :
            
Penyeru-penyeru itu berkata : “kami kehilangan piala Raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya” (Yusuf : 72)
Pendapat Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, XV/449 :




“Boleh melakukan akad Ju’alah, yaitu komitmen (seseorang) untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui.”

Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, VIII/323 :









“Kebutuhan masyarakat memerlukan adanya ju’alah; sebab pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) terkadang tidak jelas (bentuk dan masa pelaksanaannya), seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang, dan sebagainya. Untuk pekerjaan seperti ini tidak sah dilakukan akad ijarah (sewa/pengupahan) padahal (orang/pemiliknya) perlu agar kedua barang yang hilang tersebut kembali, sementara itu, ia tidak menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya secara suka rela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat mendorong agar akad ju’alah untuk keperluan seperti itu dibolehkan sekalipun (bentuk dan masa pelaksanaan) pekerjaan tersebut tidak jelas.”

3. Pendapat para ulama dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri II/24 :







“Ju’alah boleh dilakukan oleh dua pihak, pihak ja’il (pihak pertama yang menyatakan kesediaan memberikan imbalan atas suatu pekerjaan) dan pihak maj’ul lah (pihak kedua yang bersedia melakukan pekerjaan yang diperlukan pihak pertama)…, (Ju’alah) adalah komitmen orang yang cakap hukum untuk memberikan imbalan tertentu atas pekerjaan tertentu atau tidak tertentu kepada orang tertentu atau tidak tertentu.”

Akad Ju’alah boleh dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan jasa sebagaimana dimaksud dalam konsideran di atas dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Pihak Ja’il harus memiliki kecakapan hukum dan kewenangan (muthlaq al-tasharruf) untuk melakukan akad;
2. Objek Ju’alah (mahal al-‘aqd/maj’ul ‘alaih) harus berupa pekerjaan yang tidak dilarang oleh syari’ah;
3. Hasil pekerjaan (natijah) sebagaimana dimaksud harus jelas dan diketahui oleh para pihak pada saat penawaran;
4. Imbalan Ju’alah (reward/’iwadh//ju’l) harus ditentukan besarannya oleh Ja’il dan diketahui oleh para pihak pada saat penawaran; dan Tidak boleh ada syarat imbalan diberikan di muka (sebelum pelaksanaan objek Ju’alah)

C. Rukun dan Syarat-syarat

Adapun Rukun jua’alah antra lain adalah :
 Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil pekerjaan (natijah) yang ditentukan.
 Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah.
 Sighat (ijab qabul)
 objek

Adapun syarat – syarat ju’alah antara lain :

1. Orang yang menjanjikan upah atau hadiah harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum, yaitu: baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan Ju’alah.
2. Upah atau hadiah yang dijanjikan harus terdiri dari sesuatu yang bernilai harta dan jelas juga jumlahnya. Harta yang haram tidak dipandang sebagai harta yang bernilai (Madzhab Maliki, Syafi’I dan Hanbali).
3. Pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut hukum syara’.
4. Madzhab Maliki dan Syai’i menambahkan syarat, bahwa dalam masalah tertentu, Ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waktu tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang. Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan pembatasan waktu.
5. Madzhab Hanbali menambahkan, bahwa pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu, tidak terlalu berat, meskipun dapat dilakukan berulangkali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah banyak.



D. Perbedaan Ju’alah dan Ijarah
Meskipun Ju’alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah (Ulama Madzhab Hanbali), ia dapat dibedakan dengan Ijaarah (transaksi upah) dari lima segi :
1) Pada Ju’alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang yang menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi obyek pekerjaan tersebut, jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada Ijaarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersbut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan, tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu masyarakat.
2) Pada Ju’alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau untung-untungan.
3) karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara dan bentuk pekerjaannya. Sedangkan pada Ijaarah, batas waktu penyelesaian bentuk pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan obyek pekerjaan itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ju’alah yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau cara mengerjakannya.
4) Pada Ju’alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam Ijaarah, dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan kesepakatan bersama asal saja yang memberi upah itu percaya.
5) Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ju’alah bersifat sukarela, sehingga apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum dimulai, tanpa menimbulkan akibat hukum. Apalagi tawaran yang dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan disurat kabar. Sedangkan dalam akad Ijaarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Jika perjanjian itu dibatalkan, maka tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan. Biasanya sangsinya disebutkan dalam perjanjian (akad).
6) Dari segi ruang lingkupnya Madzhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa semua yang dibenarkan menjadi obyek akad dalam transaksi Ju’alah, boleh juga menjadi obyek dalam transaksi Ijaarah. Namun, tidak semua yang dibenarkan menjadi obyek dalam transaksi Ijaarah, dibenarkan pula Menjadi Objek dalam transaksi Ju’alah. Dengan demikian, ruang lingkup Ijaarah lebih luas daripada ruang lingkup Ju’alah.Berdasarkan kaidah tersebut, maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, dapat menjadi obyek dalam akad Ijaarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ju’alah. Dalam Ijaarah, orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun airnya belum ditemukan. Sedangkan pada Ju’alah, orang itu baru mendapat upah atau hadiah sesudah pekerjaannya itu sempurna.

E. UCAPAN YANG DIGUNAKAN
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa agar perbuatan hukum yang dilakukan dalam bentuk Ju’alah itu dipandang sah, maka harus ada ucapan (shigah) dari pihak yang menjanjikan upah atau hadiah, yang isinya mengandung izin bagi orang lain untuk melaksanakan perbuatan yang diharapkan dan jumlah upah yang jelas tidak seperti iklan dalam surat kabar yang biasanya tidak menyebutkan imbalan secara pasti. Ucapan tidak mesti keluar dari orang yang memerlukan jasa itu, tetapi boleh juga dari orang lain seperti wakilnya, anaknya atau bahkan orang lain yang bersedia memberikan hadiah atau upah. Kemudian Ju’alah dipandang sah, walaupun hanya ucapan ijab saja yang ada, tanpa ada ucapan qabul (cukup sepihak).
F. PEMBATALAN
Madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang, bahwa Ju’alah adalah perbuatan hukum yang bersifat suka rela. Dengan demikian, pihak pertama yang menjanjikan upah atau hadiah, dan pihak kedua yang melaksanakan pekerjaan dapat melakukan pembatalan.Mengenai waktu pembatalan terjadi perbedaan pendapat.Madzhab Maliki berpendapat, bahwa Ju’alah hanya dapat dibatalkan oleh pihak pertama sebelum pekerjaan dimulai oleh pihak kedua.Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat, bahwa pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu, selama pekerjaan itu belum selesai dilaiksanakan, karena pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar suka rela. Namun, menurut mereka, apabila pihak pertama membatalkannya, sedangkan pihak kedua belum selesai melaksanakannya, maka pihak kedua harus mendapatkan imbalan yang pantas sesuai dengan volume perbuatan yang dilaksanakannya. Kendatipun pekerjaan itu dilaksanakan atas dasar suka rela, tetapi kebijaksanaan perlu diperhatikan.
G. Aplikasi dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
Prinsip yang diterapkan oleh bank dalam menawarkan pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah
Contoh Referensi Bank, dukungan Bank
• Referensi Bank adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Bank atas dasar permintaan nasabah biasanya referenis di berikan karena nasabah mempunyai rekening di bank tersebut
• Dukungan Bank adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Bank atas permintaan nasabah biasanya dukungan bersifat tidak mengikat dan memiliki persyaratan tertentu, seperti telah berhubungan dengan bank selama 6 bulan terakhir, dan telah dikenal oleh pihak bank
Selain itu Ju’alah juga diterapkan dalam bisnis Multy Level Marketing (MLM) dengan kriteria sebagai berikut :
1. MLM yang pertama yaitu perusahaan MLM yang menjual produk perusahaan orang lain hukumnya boleh, hanya calon konsumen (calon anggota MLM tersebut) harus berhati-hati karena harga barang menjadi tidak wajar, dan kadang-kadang bisa bangkrut.
2. MLM yang kedua yaitu suatu perusahaan yang memasarkan produknya dengan sistem penjualan berjenjang di atas hukumnya shah / halal. Adanya bonus yang dijanjikan, disamakan dengan ju'alah.
Yang perlu diperhatikan:
• Bagi calon anggota, hendaknya memahami prosedur dan peraturan yang berlaku pada MLM
• Bagi siapapun hendaknya tidak membeli barang yang tidak diperlukan karena termasuk israf yang dilarang oleh Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

bintang